Oleh : Asyuqah
SETELAH melewati berbagai debat politik dan hukum, bahkan diwarnai berbagai demo dan protes, akhirnya Malik Mahmud Al-Haytar, Pimpinan Politik GAM, akan dikukuhkan sebagai Wali Nanggroe Ke-9 dalam Sidang Paripurna Istimewa DPR Aceh (Senin, 16/12/2013).
Seperti yang kita ketahui, Wali Nanggroe yang merupakan jabatan kepemimpinan daerah dianggap memiliki peran yang penting dalam pembangunan Aceh. Dalam Rancangan Qanun Aceh disebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah jabatan yang membawahi Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga ini berfungsi sebagai pemersatu masyarakat, membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, bahasa, pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Kini Malik Mahmud Al-Haytar diberi kepercayaan DPRA kepadanya untuk menjabat sebagai Wali Nanggroe Aceh ke-9 dalam perspektif GAM, yakni Dr Muhammad Hasan Ditiro, sudah berpulang ke Rahmatullah pada 3 Juni 2010.
Peran Malik sebagai Pimpinan Politik GAM yang meneken MoU damai itu, bukanlah peran yang kecil. DPRA yang didominasi Partai Aceh yang satu kubu dengan Malik, tidak menafikan begitu saja peran tersebut, sehingga jabatan Wali Nanggroe pasca-Aceh damai diberikan kepadanya. Malik sendiri mengakui kepada Serambi dalam wawancara 26 November lalu di Jakarta bahwa jabatan Wali Nanggroe ini bukanlah jabatan karena keturunan. Dia peroleh jabatan itu, karena ditunjuk oleh DPRA berdasarkan Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.
Kemudian, pastilah timbul pertanyaan yang besar dari beberapa masyarakat mengenai kehadiran Wali Nanggroe Aceh. Pertanyaan tersebut tidak lain adalah mengapa harus ada Wali Nanggroe jika sudah ada Gubernur, Walikota, dan sebagainya yang sudah memimpin dan sudah menjadi pemerintah Aceh selama ini?
Padahal disini, tugas Wali Nanggroe dan Pemerintah Aceh lainnya adalah sama-sama ingin mensejahterakan dan mempertahankan cinta damai terhadap Aceh. Namun sedikit yang membedakan tugas Wali nanggroe dan pemerintah Aceh lainnya, yaitu Wali Nanggroe memiliki tugas penting yang sesuai tupoksinya adalah sebagai pemersatu adat budaya Aceh, dan memfokuskan tenaga dan pikirannya untuk mengembalikan kejayaan peradaban Aceh sebagai bagian dari peradaban dunia yang cinta damai, bermartabat, dan menghormati hak-hak asasi manusia tanpa kecuali.
Sementara masih ada beberapa suku yang dengan tegas menolak Qanun Wali Nanggroe Nomor 8/2012, seperti Gayo, Alas, dan Singkil. Karena menurut mereka, Qanun Wali Nanggroe, merupakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan pasal 7 UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar