Oleh : Habibi
Wali Nanggroe yang di lantik pada tanggal 16 Desember 2013 telah memantik pro dan kontra di tengah masyarakat. Beberapa kalangan ada yang menyatakan dukungannya dan menganggap itu adalah sebagai amanat UUPA yang harus di jalankan, namun tak sedikit pula yang menyatakan penolakan nya karena dianggap tidak mewakili kemajemukan masyarakat di Aceh. Terbukti dari menguak nya penolakan dari rakyat Gayo pasca pengukuhan Wali Nanggroe oleh DPRA di gedung DPR yang terletak di ibukota provinsi.
Seperti yang kita ketahui, Wali Nanggroe yang merupakan jabatan kepemimpinan daerah dianggap memiliki peran yang penting dalam pembangunan Aceh. Dalam Rancangan Qanun Aceh di sebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah jabatan yang membawahi Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga ini berfungsi sebagai pemersatu masyarakat, membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, bahasa, pemberiaan gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Berdasarkan penjelasan itu, tugas Wali Nanggroe berpotensi besar dalam mengatur keberagaman kehidupan rakyat Aceh. Di takutkan,akan terjadi bentrok kepemimpinan di Aceh,mengingat Gubernur juga mengurusi hal serupa. Hal ini akan semakin membuat rakyat bingung dan terpecah belah dalam ketidaktahuan nya.
Penolakan di Berbagai Tempat
Wali Nanggroe seharus nya mebawa kesadaran sendiri bagi masyarakat Aceh, bahwa ada nilai nilai adat yang harus di jaga dan di lestarikan. Ada nya suatu lembaga khusus untuk menjaga dan menghandle masalah adat dan kebudayaan menjadi sebuah awal yang bagus untuk keberlangsungan kebudayaan itu sendiri ke depan nya. Pengukuhan Wali Nanggroe rupanya tidak serta merta lepas dari masalah kendala. Beberapa daerah di Aceh Tengah lantang menyuarakan keberatannya. Tidak lain dan tidak bukan karena aturan pra syarat yang terkesan diskriminasi yang di terangkum dalam Raqan Wali Nanggroe. Dalam Raqan Wali Nanggroe 2012 (Bab V Pasal 69) yang menyatakan bahwa orang yang duduk sebagai Wali Nanggroe haruslah orang Aceh empat turunan ke atas, di samping harus menguasai bahasa Aceh dengan fasih dan baik. Tentu saja ini mencederai perasaan masyarakat Aceh lain yang belum tentu bisa berbahasa Aceh, seperti suku Gayo, Alas, Kluet, dan Aneuk Jamee.
Berkaca dari Masa Lalu
Bila kita merunut ke belakang,kita mendapai bahwa di masalalu Aceh begitu harmonis. Hal ini di buktikan ada nya hubungan yang baik antar raja lokal dahulu kala yang memerintah suatu daerah di Aceh. Berbicara tentang Aceh,tentu ikut menyinggung pula berbagai keragaman adat dan istiadat suku suku yang hidup di dalam nya. Hal ini sebenar nya bisa menjadi suatu sinyal bagi Pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan yang berlandaskan aspirasi rakyat Aceh yang bermukim di kawasan tengah,barat ,dan selatan untuk kebaikan kita semua.
Bila hal ini tidak di terapkan,maka kita hanya tinggal menunggu bom waktu perpecahan yang siap mengguncang Aceh. Apalagi jika hal tersebut di tunggangi oleh kepentingan asing yang memanfaatkan kekisruhan yang sedang berlangsung. Sudah selayak nya Pemerintah Daerah tanggap dan meng-akomodasi suara suara lain nya dari pelosok Aceh yang selama ini kerap di abaikan,demi menjaga keutuhan Aceh ini ke depan.
Seperti yang kita ketahui, Wali Nanggroe yang merupakan jabatan kepemimpinan daerah dianggap memiliki peran yang penting dalam pembangunan Aceh. Dalam Rancangan Qanun Aceh di sebutkan bahwa Wali Nanggroe adalah jabatan yang membawahi Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga ini berfungsi sebagai pemersatu masyarakat, membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, bahasa, pemberiaan gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya. Berdasarkan penjelasan itu, tugas Wali Nanggroe berpotensi besar dalam mengatur keberagaman kehidupan rakyat Aceh. Di takutkan,akan terjadi bentrok kepemimpinan di Aceh,mengingat Gubernur juga mengurusi hal serupa. Hal ini akan semakin membuat rakyat bingung dan terpecah belah dalam ketidaktahuan nya.
Penolakan di Berbagai Tempat
Wali Nanggroe seharus nya mebawa kesadaran sendiri bagi masyarakat Aceh, bahwa ada nilai nilai adat yang harus di jaga dan di lestarikan. Ada nya suatu lembaga khusus untuk menjaga dan menghandle masalah adat dan kebudayaan menjadi sebuah awal yang bagus untuk keberlangsungan kebudayaan itu sendiri ke depan nya. Pengukuhan Wali Nanggroe rupanya tidak serta merta lepas dari masalah kendala. Beberapa daerah di Aceh Tengah lantang menyuarakan keberatannya. Tidak lain dan tidak bukan karena aturan pra syarat yang terkesan diskriminasi yang di terangkum dalam Raqan Wali Nanggroe. Dalam Raqan Wali Nanggroe 2012 (Bab V Pasal 69) yang menyatakan bahwa orang yang duduk sebagai Wali Nanggroe haruslah orang Aceh empat turunan ke atas, di samping harus menguasai bahasa Aceh dengan fasih dan baik. Tentu saja ini mencederai perasaan masyarakat Aceh lain yang belum tentu bisa berbahasa Aceh, seperti suku Gayo, Alas, Kluet, dan Aneuk Jamee.
Berkaca dari Masa Lalu
Bila kita merunut ke belakang,kita mendapai bahwa di masalalu Aceh begitu harmonis. Hal ini di buktikan ada nya hubungan yang baik antar raja lokal dahulu kala yang memerintah suatu daerah di Aceh. Berbicara tentang Aceh,tentu ikut menyinggung pula berbagai keragaman adat dan istiadat suku suku yang hidup di dalam nya. Hal ini sebenar nya bisa menjadi suatu sinyal bagi Pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan yang berlandaskan aspirasi rakyat Aceh yang bermukim di kawasan tengah,barat ,dan selatan untuk kebaikan kita semua.
Bila hal ini tidak di terapkan,maka kita hanya tinggal menunggu bom waktu perpecahan yang siap mengguncang Aceh. Apalagi jika hal tersebut di tunggangi oleh kepentingan asing yang memanfaatkan kekisruhan yang sedang berlangsung. Sudah selayak nya Pemerintah Daerah tanggap dan meng-akomodasi suara suara lain nya dari pelosok Aceh yang selama ini kerap di abaikan,demi menjaga keutuhan Aceh ini ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar