Kekerasan di media massa adalah bentuk publikasi cetak, dan tayangan fisik, maupun verbal oleh media dimana tayangan menampilkan tulisan, aksi, dan ucapan yang berbau kekerasan berupa kata-kata kasar sampai dengan siaran dan rekonstruksi kekerasan yang dapat ditonton di televisi, didengarkan melalui radio, ataupun dibaca melalui media cetak.
Kesalahan lain media yaitu menyajikan pesan kekerasan di dalam program yang disiarkan tanpa memikirkan usia individu yang menontonnya. Telah terjadi banyak kasus yang menyeret nama media sebagai pelaku tindak kekerasan berbagai golongan masyarakat. Nilai-nilai itu dapat mempengaruhi tanpa sadar masyarakat yang menontonnya. Maka etika komunikasi mau tak mau juga harus merumuskan, mendefinidikan dan menentukan batas-batas kekerasan. berdasarkan peristiwa yang terjadi di Amerika Serikat, pada tanggal 20 April 1999, dua siswa, Dylan Klebold (18 tahun) dan Eric Harris (17 tahun), melakukan penembakan secara brutal dengan senapan mesin pada jam sekolah di Sekolah Menengah Atas Columbine, Littleton, Colorado, Amerika Serikat. Bergaya koboi, kedua remaja ini menembakkan peluru dari senapan mesinnya di kantin, di ruang kelas, lorong koridor, dan teras depan sekolah. 12 siswa dan seorang guru tewas terbunuh. Lebih dari 20 orang luka-luka. Kedua pelaku pun bunuh diri dengan menembak diri usai serangan membabi buta. Pembantaian ala koboi itu terjadi kembali berkali-kali di negeri paman Sam itu pada tahun-tahun terakhir ini dan jumlah korban semakin lebih banyak. Dalam hal ini, maka etika komunikasi diciptakan agar dapat mendukung pihak yang rentan menjadi korban kekerasan media, tanpa terjebak bersikap represif. Kekerasan ini ditayangkan dengan tujuan menonjolkan kengerian dan keseragaman, yaitu agar media massa dapat membangkitkan emosi pemirsa dan pembaca. Emosi ini menjadi dayatarik luar biasa untuk membaca atau menonton kembali acara yang sama saat disiarkan.
Hukum cenderung mengarahkan pemikiran tentang pasal-pasal dan konsekuensi secara hukum. Pasal itu biasanya berbicara tentang makna sebuah keadilan. Oleh sebab itu, jika dalam media juga terdapat pasal hukum, maka akan menjadi jamak ketika pasal itu kemudian diartikan sebagai syarat atau rambu-rambu bagi perjalanan sebuah media. Namun ada anggapan umum dikalangan masyarakat, khusunya dikalangan media. Hukum hanya sebagai suatu aspek atau faktor yang marginal dalam kehidupan media massa atau pers itu sendiri.
Dalam memahami hukum media, ternyata masih terdapat banyak kerancuan, terutama dalam memaahami arti kebebasan pers. Sebagian kalangan masih menganggap media perlu dikontrol, oleh sebab itu perlu adanya hukum media yang dapat berfungsi sebagai pengontrol atau rambu-rambu agar media tidak melenceng jauh dari tugasnya. Meski demikian ada sebagian yang berpendapat lain, pengaturan dan pembentukan lembaga pengawas media bertentangan dengan prinsip kebebasan pers. Pada akhirnya hukum bukan satu-satunya faktor yang bisa membuat “hitam putihnya” media massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar